Pendidikan Dalam Keluarga Muslim
Sebagai orang tua tentu senantiasa berharap, berdo’a dan berusaha
semaksimal mungkin agar anak-anak kita kelak menjadi anak-anak yang shalih,
anak-anak yang bermanfaat. Namun siapa yang bertanggung jawab menjadikan mereka
anak shalih, apakah orang tua? Ataukah sekolah dan para gurunya?
Beruntungnya Orang Tua Yang Memiliki Anak
ShalihAllah ta’ala berfirman
dalam sebuah ayat yang telah kita ketahui bersama,
“Hai
orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka
yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (At Tahrim: 6).
Sungguh
beruntung dan berbahagialah orang tua yang telah mendidik
anak-anak mereka sehingga menjadi anak yang shalih, yang selalu
membantu orang tuanya, mendo’akan orang tuanya, membahagiakan mereka dan
menjaga nama baik kedua orang tua. Karena anak yang shalih akan senantiasa
menjadi investasi pahala, sehingga orang tua akan mendapat aliran pahala dari
anak shalih yang dimilikinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Apabila
seorang telah meninggal dunia, maka seluruh amalnya terputus kecuali tiga,
yaitu sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shalih yang
mendo’akannya.” (HR.
Muslim: 1631).
Oleh
karenanya, saking urgennya pembinaan dan pendidikan sang anak sehingga bisa
menjadi anak yang shalih, Allah ta’ala langsung membebankan
tanggung jawab ini kepada kedua orang tua.
Demikian
pula, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memikulkan
tanggung jawab pendidikan anak ini secara utuh kepada kedua orang tua. Dari Ibnu radhiallahu
‘anhu, bahwa dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Setiap
kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas
kepemimpinannya. Seorang imam adalah pemimpin dan akan dimintai
pertanggunjawabannya dan demikian juga seorang pria adalah seorang pemimpin
bagi keluarganya dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (HR. Bukhari: 2278).
Abdullah bin
Umar radhiallahu ‘anhuma berkata,
“Didiklah
anakmu, karena sesungguhnya engkau akan dimintai pertanggungjawaban mengenai
pendidikan dan pengajaran yang telah engkau berikan kepadanya. Dan dia juga
akan ditanya mengenai kebaikan dirimu kepadanya serta ketaatannya kepada
dirimu.”(Tuhfah
al Maudud hal. 123).
Orang tua
yang berusaha keras mendidik anaknya dalam lingkungan ketaatan kepada Allah, maka
pendidikan yang diberikannya tersebut merupakan pemberian yang berharga bagi
sang anak, meski terkadang hal itu jarang disadari. Dalam sebuah hadits yang
diriwayatkan Al-Hakim, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tiada suatu
pemberian yang lebih utama dari orang tua kepada anaknya selain pendidikan yang
baik.” (HR.
Al Hakim: 7679).
Mengenai
tanggung jawab pendidikan anak terdapat perkataan yang berharga dari Imam Abu
al-Hamid al-Ghazali rahimahullah. Beliau berkata,
“perlu diketahui
bahwa metode untuk melatih/mendidik anak-anak termasuk urusan yang paling
penting dan harus mendapat prioritas yang lebih dari urusan yang lainnya. Anak
merupakan amanat di tangan kedua orang tuanya dan qalbunya yang masih bersih merupakan
permata yang sangat berharga dan murni yang belum dibentuk dan diukir... (Ihya Ulum al-Din 3/72).
Senada
dengan ucapan al-Ghazali di atas adalah perkataan al-Imam Ibnu al-Qayyim rahimahullah,
“Siapa
saja yang mengabaikan pendidikan anaknya dalam hal-hal yang berguna baginya,
lalu dia membiarkan begitu saja, berarti dia telah berbuat kesalahan yang fatal...
(Tuhfah
al-Maudud hal. 125)
Pendidikan anak, kewajiban siapa?
Di tengah masyarakat seolah-olah terdapat “pembagian
wilayah tugas” antara ayah dan ibu. Ayah mencari nafkah, dan karena itu
sebagian besar waktunya ia habiskan di luar rumah. Sedangkan ibu, tugasnya
mengurus segala kepentingan rumah tangga termasuk di dalamnya mengurus anak.
Bicara mengenai pendidikan anak dalam Islam, dan siapa
yang harus memikul tanggung jawab itu, pada dasarnya tidak ada pembedaan di
antara ayah dan ibu. Keduanya sama-sama mempunyai tugas mendidik anak. Seorang
ayah sudah
barang tentu memiliki tugas pendidikan anak, sesuai dengan apa yang telah
dicontohkan oleh Rasulullah saw, sebab tidak ada ayah yang lebih baik daripada
Rasulullah saw.
“Rasulullah adalah seorang ayah, sekaligus murabbi, seorang
pendidik. Sehingga, tugas utama ayah adalah at-tarbiyah, mendidik anaknya.”
Dalam Al-Quran kita
akan temukan beragam kisah yang menceritakan bagaimana para ayah, dalam hal ini
nabi dan orang-orang shalih, mendidik anaknya. Jarang sekali, atau bahkan tidak
ada, teks Al-Quran yang menyebut seorang ibu mengenai pendidikan anak.
Contoh yang paling dikenal adalah kisah Luqman,
seorang ayah, laki-laki yang shalih, yang memberi pesan tauhid kepada anaknya. Yang diabadikan dalam Surat Lukman.
Selain kisah Luqman di atas, kita pun bisa mengetahui
bagaimana Ibrahim mendidik anaknya, Ismail, sehingga perintah yang diterima
Ibrahim dari Tuhannya untuk menyembelih Ismail kemudian bisa ditaati oleh putra
tercintanya itu.
Juga terangkum dalam sejarah, Nabi Muhammad yang mengajarkan
anak-anaknya, terutama Fatimah, kecintaan kepada Allah, dan mendidiknya hingga
tumbuh menjadi pribadi yang kuat, cerdas dan sederhana.
Namun, meski yang sering disebut dalam
Al-Quran itu adalah ayah, itu bukan berarti menafikan peran seorang ibu. “Dalam
Al-Quran, ketika yang disebut itu laki-laki, maka bagi perempuan itu sudah include
di dalam instruksi tersebut.
Kesiapan Ismail untuk
melaksanakan perintah penyembelihan dirinya. “Tidak mungkin Ismail itu begitu
cepat merespons panggilan Allah, ‘wahai bapakku, lakukan apa yang kau
diperintahkan,’ kalau dia tidak dididik oleh ibunya, Hajar as. Karena kalau
ibunya bukan seorang pendidik, ia mungkin saja akan memprovokasi anak, ‘jangan
mau, nak.’
Jadi, dengan tidak disebut secara langsung, tetap
termaktub sebuah isyarat bahwa Hajar—dengan makna luas adalah ibu, merupakan
bagian dari sistem pendidikan untuk anak-anak dalam sebuah keluarga yang
dibinanya.
Bagaimana dengan Lembaga Pendidikan
Jelas sudah bahwa baik ayah maupun ibu sama-sama
memikul tanggung jawab untuk mendidik anak-anaknya, mengantarkan mereka menjadi
hamba Rabbani yang mampu memenuhi segala tuntutan hidup yang datang pada
dirinya.
Tetapi, bagaimana kiranya jika ayah dan ibunya menyerahkan
sepenuhnya urusan pendidikan anak ini kepada Lembaga Pendidikan. Merasa
sudah cukup dengan menyerahkan anak-anak ke sekolah-sekolah ternama, misalnya,
untuk dididik oleh guru-guru yang berpengalaman. Fenomena ini tak jarang kita
saksikan, atau juga kita alami sendiri, dalam kehidupan kita sehari-hari.
Sekalipun sang ayah sudah menyerahkan kepada lembaga Pendidikan hal
itu tidak serta merta menggugurkan kewajibannya dalam mendidik anak,
Kewajiban mendidik anak, yang utama jelas terletak pada kedua
orangtua, ayah dan ibu. Bukan pada sekolah, madrasah, pesantren atau lembaga
pendidikan lainnya.
Keumuman
kaum Muslimin hari ini dan keumuman manusia menganggap bahwa pendidikan adalah
kewajiban lembaga pendidikan. Atau dengan kata lain, kelaziman kaum Muslimin
dan manusia umumnya menganggap bahwa para putra-putri kita diserahkan kepada
lembaga pendidikan. Kedua, kita menganggap bahwa pendidikan
anak atau mendidik anak hanya dalam ruang lingkup apa yang dinamakan
dengan lembaga pendidikan.
Sebetulnya
ini adalah 2 pemikiran yang keliru dalam hakikat, maksud, dan tujuan dari
pendidikan, sekaligus tugas dari pendidikan.
Kalau kita
ditanya pada pertanyaan yang pertama, “Siapakah yang bertanggung jawab mendidik
anak?”
Maka jawaban yang benar, yang ditunjukkan dalil Al-Qur’an dan dalil Sunnah,
adalah kedua orang tua. Lembaga pendidikan, atau secara khusus kita katakan
seorang guru, maka mereka bukanlah pemeran utama dalam kewajiban mendidik anak.
Hal ini karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“… peliharalah
dirimu dan keluargamu dari api neraka …” (QS At-Tahrim [66]: 6)
Keberadaan lembaga pendidikan sesungguhnya lebih
bersifat sekadar membantu. Pendidikan yang sebenarnya tetap berasal dari
orangtua. “Jangan sampai juga orangtua jatuh pada pemahaman yang salah mengenai
sekolah.
Pemikiran macam ini jelas tidak benar. Sebab harus ada
sinkronisasi antara tugas orangtua dan tugas guru. “Di sekolah, gurulah yang
sekaligus menjadi orangtua. Namun di rumah, orangtualah yang sekaligus
menjadi guru bagi anak-anaknya. Jadi baik di rumah ataupun di sekolah,
anak-anak berada dalam suasana madrasi, suasana sekolah, sehingga anak bisa
terpantau dalam kehidupanya.
Disusun oleh : N Ahmad Haryadi